Persamaan Bahasa Jepang & Bahasa Mandarin
Dalam dunia linguistik, bahasa Jepang dan Mandarin sering dianggap sangat berbeda. Meskipun bahasa Jepang berakar pada kebudayaan Jepang dan Mandarin pada kebudayaan Tiongkok, keduanya memiliki hubungan yang unik dan sejarah yang panjang, terutama dalam hal aksara dan tata bahasa. Bahasa Jepang dan Mandarin memiliki beberapa aspek persamaan yang menarik, mulai dari aksara hingga cara berpikir yang tercermin dalam bahasa tersebut. Hal ini sebagian besar berasal dari pengaruh budaya Tiongkok terhadap Jepang pada masa lampau, khususnya selama periode Dinasti Han dan kemudian Dinasti Tang di Tiongkok.
Dengan memahami persamaan di antara kedua bahasa ini, kita tidak hanya mendapatkan wawasan tentang dua bahasa yang tampak berbeda, tetapi juga menelusuri akar budaya Asia Timur yang saling berkaitan. Perbedaan keduanya memang nyata dalam aspek fonetik dan tata bahasa, tetapi unsur-unsur yang serupa dalam bahasa ini memberikan peluang untuk lebih memahami kedalaman interaksi budaya di antara mereka.
Pengaruh Sejarah pada Persamaan Bahasa
Sejarah memainkan peran penting dalam terbentuknya persamaan antara bahasa Jepang dan Mandarin. Kontak awal antara Jepang dan Tiongkok terjadi pada periode kuno ketika Jepang mulai mengadopsi aksara Tiongkok sebagai cara menulis bahasa mereka. Pada masa itu, Tiongkok memiliki pengaruh besar dalam bidang sastra, agama, dan pendidikan di Asia Timur. Karena Jepang belum memiliki sistem tulisan sendiri, mereka mengadaptasi aksara Tiongkok yang dikenal sebagai kanji untuk menulis bahasa mereka. Dengan demikian, banyak konsep budaya, religi, dan nilai-nilai moral dari Tiongkok yang mengalir ke dalam kebudayaan Jepang melalui bahasa.
Selain itu, banyak istilah dalam bahasa Jepang, khususnya istilah dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama, diadopsi langsung dari Mandarin. Proses adaptasi ini menciptakan persamaan kosakata, yang membuat beberapa kata di kedua bahasa tersebut memiliki arti yang serupa meskipun cara pengucapannya berbeda. Hal ini adalah salah satu contoh nyata bagaimana pengaruh budaya dan sejarah mampu menciptakan persamaan dalam bahasa yang berbeda.
Kanji: Aksara yang Sama, Makna yang Sama
Kanji adalah salah satu contoh paling mencolok dari persamaan antara bahasa Jepang dan Mandarin. Kanji adalah aksara Tiongkok yang digunakan dalam penulisan bahasa Jepang, dan pada dasarnya, banyak kanji memiliki arti yang sama dalam kedua bahasa tersebut. Misalnya, karakter 人 yang berarti “orang” dalam bahasa Mandarin juga berarti “orang” dalam bahasa Jepang. Meski demikian, cara pembacaan karakter ini berbeda antara keduanya, di mana dalam bahasa Jepang karakter tersebut dibaca sebagai hito, sementara dalam bahasa Mandarin dibaca sebagai rén.
Namun, persamaan makna pada kanji ini tidak selalu seragam. Beberapa kanji memiliki makna yang berbeda dalam bahasa Jepang dan Mandarin meskipun secara visual sama. Misalnya, karakter 本 dalam bahasa Mandarin berarti “buku”, sedangkan dalam bahasa Jepang karakter ini memiliki dua arti utama, yakni “buku” dan “asal”. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada persamaan pada tingkat simbol, perbedaan budaya tetap berpengaruh pada bagaimana sebuah karakter ditafsirkan dalam bahasa masing-masing.
Tata Bahasa dan Struktur Kalimat
Secara umum, tata bahasa Mandarin dan Jepang sangat berbeda. Mandarin dikenal sebagai bahasa analitik, yang berarti bahwa ia bergantung pada urutan kata dan sering kali tidak memiliki infleksi. Sebaliknya, bahasa Jepang adalah bahasa aglutinatif, yang menggunakan partikel untuk menentukan fungsi kata dalam kalimat. Namun, kedua bahasa ini memiliki kesamaan dalam penggunaan partikel sebagai penghubung antar elemen kalimat. Bahasa Jepang menggunakan partikel seperti wa untuk menandai subjek dan wo untuk objek, sedangkan Mandarin memiliki partikel de yang digunakan untuk menunjukkan kepemilikan atau atribut.
Dalam hal struktur kalimat, kedua bahasa ini juga memiliki kesamaan dalam kalimat sederhana yang biasanya memiliki pola Subjek-Kata Kerja-Objek (SVO). Meskipun tidak selalu konsisten, pola ini sering digunakan dalam kedua bahasa. Sebagai contoh, dalam bahasa Jepang, “Saya makan apel” bisa ditulis sebagai “Watashi wa ringo wo tabemasu,” sedangkan dalam Mandarin ditulis “Wǒ chī píngguǒ.” Kedua kalimat ini memiliki pola SVO yang serupa, meskipun peran partikel dalam bahasa Jepang lebih jelas dibandingkan dengan bahasa Mandarin.
Serapan Kosakata dan Pengaruh Modern
Ketika Jepang mulai mengembangkan industrinya dan membuka diri pada dunia internasional pada era Meiji, bahasa Jepang mulai menyerap banyak kosakata dari bahasa Inggris, yang pada akhirnya juga masuk ke bahasa Mandarin. Misalnya, kata kamera dalam bahasa Jepang dan zhàoxiàngjī dalam bahasa Mandarin, keduanya mengacu pada “kamera” dalam bahasa Inggris. Meski cara penyerapannya berbeda, fenomena ini menunjukkan bagaimana kedua bahasa ini bereaksi terhadap perkembangan dunia modern dengan mengadopsi istilah asing.
Selain itu, dalam era digital, kata-kata serapan terkait teknologi juga menciptakan persamaan dalam kedua bahasa. Misalnya, istilah seperti インターネット (intānetto) dalam bahasa Jepang dan 互联网 (hùliánwǎng) dalam bahasa Mandarin, keduanya berarti “internet.” Meskipun cara penulisan dan pengucapan berbeda, adanya kosakata serupa yang bersumber dari bahasa Inggris ini membuat pengguna bahasa Jepang dan Mandarin lebih mudah memahami konsep modern yang sama.
Cara Berpikir yang Mirip dalam Bahasa
Bahasa tidak hanya mencerminkan cara kita berkomunikasi, tetapi juga cara kita berpikir. Bahasa Jepang dan Mandarin, keduanya memiliki kecenderungan untuk mengekspresikan ide secara tidak langsung, terutama dalam konteks sosial. Sebagai contoh, dalam budaya Jepang, bahasa sering kali digunakan untuk menunjukkan penghormatan dan kesopanan. Bentuk bahasa kehormatan (keigo) dalam bahasa Jepang adalah salah satu bentuk ekspresi yang menunjukkan rasa hormat, dan konsep ini juga ada dalam bahasa Mandarin dengan penggunaan karakter dan frasa tertentu yang menunjukkan hormat pada lawan bicara.
Cara berkomunikasi dalam kedua bahasa ini juga sering kali menghindari konfrontasi langsung. Baik dalam budaya Jepang maupun Tiongkok, komunikasi non-verbal sangat penting dan sering kali mencerminkan ketertiban dan harmoni. Misalnya, dalam bahasa Mandarin, ungkapan seperti 不好意思 (bù hǎo yì si), yang artinya “maaf” atau “saya merasa tidak enak,” menunjukkan pendekatan halus dalam mengungkapkan perasaan. Begitu pula dalam bahasa Jepang, penggunaan kata sumimasen menunjukkan penghormatan dan kerendahan hati, yang mencerminkan cara berpikir orang Jepang yang cenderung menghindari konflik.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, persamaan antara bahasa Jepang dan Mandarin lebih dari sekadar kebetulan linguistik; mereka mencerminkan warisan budaya dan sejarah yang kaya. Meskipun kedua bahasa ini memiliki struktur fonetik dan tata bahasa yang berbeda, persamaan pada penggunaan aksara kanji, serapan kosakata, serta cara berpikir yang serupa menunjukkan betapa eratnya hubungan budaya dan sejarah di antara keduanya. Pengaruh sejarah yang berlangsung lama telah menciptakan jejak yang mendalam, membuat bahasa Jepang dan Mandarin lebih mudah dipelajari satu sama lain dibandingkan bahasa-bahasa lain yang lebih jauh kaitannya.
Dengan memahami persamaan ini, kita dapat lebih menghargai kedua bahasa sebagai bagian dari kekayaan budaya Asia Timur yang saling melengkapi. Perbedaan yang ada bukanlah pemisah, melainkan elemen yang memperkaya interaksi budaya di kawasan tersebut. Bagi pembelajar bahasa, mengenal persamaan ini bisa menjadi pintu masuk untuk lebih memahami tidak hanya bahasa itu sendiri, tetapi juga nilai-nilai dan filosofi yang ada di baliknya.
Subscribe to my newsletter
Read articles from Lister directly inside your inbox. Subscribe to the newsletter, and don't miss out.
Written by