Kartini dan Al-Qur’an: Dari Kegelapan Menuju Cahaya (1879 M - 1904 M)

Ariska HidayatAriska Hidayat
4 min read

Raden Ajeng Kartini, dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan Indonesia, ternyata juga sosok yang memiliki pencarian spiritual yang mendalam. Di balik upayanya memperjuangkan pendidikan dan kesetaraan, tersimpan kisah tentang bagaimana Al-Qur’an menerangi batinnya. Perjalanan ini berlangsung dalam suasana sosial-politik yang rumit: ketimpangan gender, feodalisme lokal, dan tekanan kolonial yang berupaya membungkam cahaya Islam.


1. Latar Sosial: Feodalisme Jawa dan Tekanan Kolonial

Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, saat Hindia Belanda berada dalam genggaman kolonial yang sangat represif. Masyarakat pribumi hidup dalam sistem feodal yang membatasi mobilitas sosial, terutama bagi perempuan. Perempuan bangsawan seperti Kartini tidak boleh sekolah tinggi dan dijodohkan dalam usia muda, hanya dianggap pelengkap dalam rumah tangga.

Di sisi lain, pemerintah kolonial Belanda secara sistematis mengekang perkembangan Islam. Mereka khawatir Islam menjadi sumber perlawanan rakyat. Maka, upaya spiritual dan pendidikan Islam dicekik melalui berbagai cara:

  • Menekan pesantren dan madrasah.

  • Melarang terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa lokal.

  • Menghambat penyebaran buku-buku keislaman.

  • Membangun kesan bahwa Islam itu kuno, bertentangan dengan “kemajuan” ala Barat.

Pendidikan yang dibuka oleh Belanda untuk pribumi—seperti ELS (Europeesche Lagere School)—lebih mengutamakan nilai-nilai sekuler dan menjauhkan siswa dari akar keislaman.

Di sinilah kegelisahan Kartini muncul. Ia mendapat pendidikan Barat, namun merasakan kekosongan batin karena tidak memahami agamanya sendiri.


2. Kegelisahan dalam Surat kepada Stella

Dalam suratnya kepada Estelle Zeehandelaar, Kartini menulis dengan getir:

“Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajarannya dengan umat lain.”
(Surat kepada Stella, 6 November 1899)

Kata-kata ini bukan penghinaan terhadap Islam, melainkan cerminan bahwa Islam diajarkan tanpa ruh dan pemahaman, seperti yang dikehendaki penguasa kolonial saat itu.


3. Bertemu Kyai Sholeh Darat: Terbitlah Terang dari Ayat

Dalam sebuah acara Maulid Nabi di Semarang, Kartini turut hadir bersama keluarganya. Saat itu, Kyai Sholeh Darat membacakan tafsir surat Al-Fatihah dalam bahasa Jawa. Kartini yang haus ilmu dan sedang mencari makna sejati dari ajaran Islam, sangat tersentuh.

Ia kemudian mendekati sang Kyai dan berkata dengan hati bergetar:

“Mengapa selama ini Islam tidak diajarkan kepada kami dengan cara yang indah dan mudah dipahami seperti ini?”

Dari sanalah muncul keinginan Kartini agar tafsir Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, hingga Kyai Sholeh Darat akhirnya menulis kitab tafsir dalam aksara Pegon berjudul Faidhur Rahman.


4. Ayat yang Menggugah: Dari Gelap ke Terang

Ungkapan terkenal Kartini, “Dari gelap terbitlah terang” (Door Duisternis tot Licht), sangat selaras dengan firman Allah:

"Allah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya."
(QS. Al-Baqarah: 257)

Makna ayat ini tidak hanya menyentuh hati Kartini secara personal, tapi juga memberi semangat pembebasan dari kebodohan dan penindasan.


5. Tafsir dan Kecintaan pada Ilmu

Kartini semakin sadar bahwa Islam sejati bukan musuh perempuan, melainkan pembebas. Ia sangat terinspirasi oleh ayat-ayat yang memuliakan ilmu:

"Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
(QS. Az-Zumar: 9)

"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, laki-laki dan perempuan."
(HR. Ibnu Majah)

Kartini menulis kepada Ny. Abendanon (21 Juli 1902):

“Saya telah menemukan kitab yang begitu indah! Kitab yang berisi banyak hikmah dan kebenaran. Mengapa selama ini Islam tidak diajarkan kepada kami sebagaimana mestinya?”


6. Warisan Kartini: Islam dan Pendidikan yang Membebaskan

Kartini wafat dalam usia muda, 25 tahun. Namun warisannya sangat besar. Ia menunjukkan bahwa perempuan tidak harus memilih antara Islam dan kemajuan—keduanya bisa sejalan, asal dipahami dengan benar.

“Agama harus mendidik, bukan menindas.”
(Kutipan dari surat-surat Kartini)

Ia tidak hanya meninggalkan warisan emansipasi, tapi juga menyadarkan umat bahwa Islam adalah sumber pencerahan, bukan keterbelakangan.


Penutup: Cahaya yang Menembus Penjajahan

Kartini adalah cahaya yang menembus pekatnya penjajahan, patriarki, dan kejumudan berpikir. Dalam kesunyian hatinya, ia menemukan suara Al-Qur’an. Dalam kekangan kolonial, ia tetap menggenggam pena dan akal. Dan dalam tafsir Al-Qur’an yang ia temukan, ia melihat Islam bukan sebagai tembok, melainkan jendela menuju langit yang luas.


Semoga jejak spiritual Kartini menjadi pengingat, bahwa dalam setiap pencarian ilmu dan iman, selalu ada jalan menuju terang. 🌿

Sumber: AI dengan prompt “Kartini dan Quran“

0
Subscribe to my newsletter

Read articles from Ariska Hidayat directly inside your inbox. Subscribe to the newsletter, and don't miss out.

Written by

Ariska Hidayat
Ariska Hidayat

I am an enthusiastic researcher and developer with a passion for using technology to innovate in business and education.