Muslim Itu Pejuang: Cerdas dalam Prinsip, Lembut dalam Empati

Ariska HidayatAriska Hidayat
2 min read

Menjadi seorang Muslim bukan sekadar menjalani ritual. Lebih dari itu, seorang Muslim adalah pejuang nilai—teguh memegang prinsip kebenaran, sekaligus penuh empati dalam menyikapi dunia yang beragam.

Prinsip: Ketika Haram Tetap Haram, Meski di Tengah Pergaulan

Salah satu bentuk ujian terbesar di zaman ini adalah bagaimana kita berpegang teguh pada halal-haram di tengah masyarakat yang semakin cair batasnya. Contohnya sederhana namun sarat makna: ketika rekan kerja menawari makanan yang mengandung babi.

Seorang Muslim tidak bisa hanya berkata, “Tidak enak menolak.” Ia harus cukup cerdas untuk mengatakan “tidak” dengan cara yang tetap beretika dan bijak. Ia perlu belajar mengecek bahan makanan, mencari tahu kandungan makanan kemasan, bertanya kepada pelayan restoran, bahkan membawa bekal sendiri jika perlu.

Namun di sisi lain, Islam tidak memaksa di luar batas kemampuan. Jika dalam kondisi terpaksa, dan tidak ada makanan lain, maka Islam membolehkan secukupnya—bukan untuk memanjakan diri, tapi untuk bertahan hidup. Ini bukan sekadar soal makanan. Ini cermin dari sikap hidup seorang Muslim: berani memilih jalan sulit demi rida Allah, tetapi tidak kehilangan kasih dalam bersikap kepada sesama.

Cerdas: Al-Qur’an Bukan Hanya untuk Dibaca, Tapi Dihidupkan

Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut berulang kali agar kita:

  • “afalā ta‘qilūn” (tidakkah kalian berakal),

  • “la‘allahum yatafakkarūn” (agar mereka berpikir),

  • “la‘allahum ya‘lamūn” (agar mereka mengetahui),

  • “la‘allahum yatadabbarūn” (agar mereka merenungkan).

Ini bukan kitab biasa. Al-Qur’an adalah kitab peradaban, bukan sekadar untuk dilantunkan, tetapi untuk dimengerti, direnungi, dan diwujudkan dalam hidup sehari-hari.

Maka seorang Muslim tidak cukup hanya menghafal. Ia juga belajar merenung, menghubungkan ayat-ayat dengan realita, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai kompas dalam mengambil keputusan. Baik dalam berdagang, bekerja, membangun keluarga, hingga memilih makanan.

Empati: Tegas Tanpa Membenci, Teguh Tanpa Menghina

Islam juga mengajarkan adab tinggi. Kita dilarang keras berdebat dengan cara yang kasar, bahkan saat kita yakin berada di pihak yang benar.

Allah berfirman:

"Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik..." (QS. Al-‘Ankabūt: 46)

Bersikap tegas pada prinsip tidak berarti harus keras dalam tutur kata. Seorang Muslim tetap menghormati orang tua, menghargai teman kerja, tetangga, bahkan mereka yang berbeda agama. Karena akal dan adab berjalan beriringan. Tidak cukup hanya tahu yang benar—kita juga harus menyampaikan dengan cara yang benar.


Akhir Kata: Islam Adalah Jalan Juang yang Penuh Cinta

Menjadi Muslim berarti menjadi kuat tanpa menyakiti, menjadi teguh tanpa arogan, dan menjadi lembut tanpa rapuh. Inilah jalan juang yang diajarkan oleh Nabi ﷺ. Jalan yang membutuhkan ketekunan belajar, kejelian berpikir, dan ketulusan hati.

Jangan lelah menjadi pejuang. Karena setiap langkahmu yang menjaga prinsip, setiap kata lembut yang kau pilih saat menolak, setiap keputusan sadar atas makanan yang kau santap—semuanya adalah bentuk ibadah.

Semoga Allah meneguhkan kita semua. Āmīn.

0
Subscribe to my newsletter

Read articles from Ariska Hidayat directly inside your inbox. Subscribe to the newsletter, and don't miss out.

Written by

Ariska Hidayat
Ariska Hidayat

I am an enthusiastic researcher and developer with a passion for using technology to innovate in business and education.