🌾 Kiai Sholeh Darat: Melawan Kolonialisme dengan Pena dan Tafsir


Di tengah kelamnya masa penjajahan Belanda, ketika senjata dirampas dan suara dibungkam, seorang ulama dari Semarang justru mengangkat pena. Ia adalah Kiai Sholeh Darat, tokoh penting abad ke-19 yang melawan dengan cara berbeda: menuliskan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa rakyat. Bukan hanya sebagai bentuk dakwah, tapi juga sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap kolonialisme.
📌 1. Larangan Belanda: Al-Qur’an Harus Tetap Misterius
Pada masa itu, pemerintah kolonial melarang penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa lokal.
Tujuannya: agar rakyat tidak memahami isi wahyu, dan tidak tersulut semangat untuk melawan penindasan.
Belanda paham: jika rakyat mengerti ajaran Islam yang murni, akan tumbuh kesadaran tentang keadilan, kebebasan, dan persaudaraan.
📌 2. Langkah Berani Kiai Sholeh: Menulis Tafsir dalam Bahasa Jawa
Sebagai bentuk perlawanan, Kiai Sholeh Darat menulis tafsir berjudul:
"Faidh al-Rahman fi Tarjamah Kalam Malik al-Dayyan".Ditulis dalam:
Bahasa Jawa → agar bisa dipahami oleh rakyat biasa.
Aksara Arab Pegon → menjaga nuansa keislaman pesantrennya.
Penulisan ini adalah inisiatif pribadi beliau, bukan karena permintaan siapa pun — semata karena keprihatinan terhadap jauhnya umat dari pemahaman Al-Qur’an.
📌 3. R.A. Kartini: Tersentuh oleh Terjemahan Al-Fatihah
Suatu ketika, R.A. Kartini menghadiri pengajian Kiai Sholeh Darat. Ia kemudian mengeluhkan hal yang sangat dalam dan menggugah:
“Selama hidupku, aku membaca Al-Qur’an tanpa tahu apa artinya. Aku membaca, tapi tidak mengerti. Bukankah sia-sia membaca kitab suci tanpa memahami isinya?”
Kartini—yang sudah membaca karya-karya besar Eropa—merasa ada sesuatu yang hilang dalam pendidikan agama yang ia terima. Ia tahu Al-Qur’an itu agung, namun kenapa ia tidak pernah diajarkan maknanya?
Mendengar kegundahan itu, Kiai Sholeh Darat menghadiahkan tafsir surat Al-Fatihah yang telah ia susun dalam bahasa Jawa.
Kartini begitu terharu, hingga kemudian menulis dalam suratnya kepada Abendanon:
“Baru sekarang aku mengerti betapa indahnya isi Al-Qur’an. Selama ini aku hanya membaca tanpa memahami. Tafsir dari Kyai Sholeh Darat membuatku merasa seperti melihat cahaya baru dalam hidup.”
📌 4. Tafsir sebagai Senjata Kultural
Melalui tafsir Faidh al-Rahman, Kiai Sholeh Darat:
Memberikan akses pemahaman agama yang setara bagi rakyat kecil.
Menghidupkan kembali semangat keislaman yang menyatu dengan budaya Jawa.
Melawan kolonialisme secara kultural dan intelektual, tanpa angkat senjata.
📌 5. Warisan Abadi: Cahaya Ilmu yang Tak Padam
Meski hanya selesai hingga surat An-Nisa’, Faidh al-Rahman tetap menjadi:
Kitab tafsir pertama dalam bahasa Jawa beraksara Pegon.
Bukti bahwa ulama punya peran penting dalam membebaskan akal dan hati umat.
Inspirasi gerakan Islam di Nusantara yang inklusif, membumi, dan mencerahkan.
✊ Penutup: Tafsir yang Menyentuh Dua Zaman
Kiai Sholeh Darat telah wafat, namun tafsirnya menyentuh dua zaman:
Zaman Kartini, yang tercerahkan oleh makna Al-Fatihah.
Zaman kita hari ini, yang masih butuh pendekatan dakwah yang dekat dengan bahasa umat.
“Cahaya wahyu bukan untuk disimpan di langit, tapi diturunkan agar semua manusia bisa melihat jalan pulang.”
— Semangat Kiai Sholeh Darat
Sumber: AI dengan prompt “kyai Sholeh Darat dalam perlawanan kolonialisme Belanda“
Subscribe to my newsletter
Read articles from Ariska Hidayat directly inside your inbox. Subscribe to the newsletter, and don't miss out.
Written by

Ariska Hidayat
Ariska Hidayat
I am an enthusiastic researcher and developer with a passion for using technology to innovate in business and education.