🌾 Kiai Sholeh Darat: Melawan Kolonialisme dengan Pena dan Tafsir

Ariska HidayatAriska Hidayat
3 min read

Di tengah kelamnya masa penjajahan Belanda, ketika senjata dirampas dan suara dibungkam, seorang ulama dari Semarang justru mengangkat pena. Ia adalah Kiai Sholeh Darat, tokoh penting abad ke-19 yang melawan dengan cara berbeda: menuliskan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa rakyat. Bukan hanya sebagai bentuk dakwah, tapi juga sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap kolonialisme.


📌 1. Larangan Belanda: Al-Qur’an Harus Tetap Misterius

  • Pada masa itu, pemerintah kolonial melarang penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa lokal.

  • Tujuannya: agar rakyat tidak memahami isi wahyu, dan tidak tersulut semangat untuk melawan penindasan.

  • Belanda paham: jika rakyat mengerti ajaran Islam yang murni, akan tumbuh kesadaran tentang keadilan, kebebasan, dan persaudaraan.


📌 2. Langkah Berani Kiai Sholeh: Menulis Tafsir dalam Bahasa Jawa

  • Sebagai bentuk perlawanan, Kiai Sholeh Darat menulis tafsir berjudul:
    "Faidh al-Rahman fi Tarjamah Kalam Malik al-Dayyan".

  • Ditulis dalam:

    • Bahasa Jawa → agar bisa dipahami oleh rakyat biasa.

    • Aksara Arab Pegon → menjaga nuansa keislaman pesantrennya.

  • Penulisan ini adalah inisiatif pribadi beliau, bukan karena permintaan siapa pun — semata karena keprihatinan terhadap jauhnya umat dari pemahaman Al-Qur’an.


📌 3. R.A. Kartini: Tersentuh oleh Terjemahan Al-Fatihah

Suatu ketika, R.A. Kartini menghadiri pengajian Kiai Sholeh Darat. Ia kemudian mengeluhkan hal yang sangat dalam dan menggugah:

“Selama hidupku, aku membaca Al-Qur’an tanpa tahu apa artinya. Aku membaca, tapi tidak mengerti. Bukankah sia-sia membaca kitab suci tanpa memahami isinya?”

Kartini—yang sudah membaca karya-karya besar Eropa—merasa ada sesuatu yang hilang dalam pendidikan agama yang ia terima. Ia tahu Al-Qur’an itu agung, namun kenapa ia tidak pernah diajarkan maknanya?

Mendengar kegundahan itu, Kiai Sholeh Darat menghadiahkan tafsir surat Al-Fatihah yang telah ia susun dalam bahasa Jawa.

Kartini begitu terharu, hingga kemudian menulis dalam suratnya kepada Abendanon:

“Baru sekarang aku mengerti betapa indahnya isi Al-Qur’an. Selama ini aku hanya membaca tanpa memahami. Tafsir dari Kyai Sholeh Darat membuatku merasa seperti melihat cahaya baru dalam hidup.”


📌 4. Tafsir sebagai Senjata Kultural

Melalui tafsir Faidh al-Rahman, Kiai Sholeh Darat:

  • Memberikan akses pemahaman agama yang setara bagi rakyat kecil.

  • Menghidupkan kembali semangat keislaman yang menyatu dengan budaya Jawa.

  • Melawan kolonialisme secara kultural dan intelektual, tanpa angkat senjata.


📌 5. Warisan Abadi: Cahaya Ilmu yang Tak Padam

Meski hanya selesai hingga surat An-Nisa’, Faidh al-Rahman tetap menjadi:

  • Kitab tafsir pertama dalam bahasa Jawa beraksara Pegon.

  • Bukti bahwa ulama punya peran penting dalam membebaskan akal dan hati umat.

  • Inspirasi gerakan Islam di Nusantara yang inklusif, membumi, dan mencerahkan.


✊ Penutup: Tafsir yang Menyentuh Dua Zaman

Kiai Sholeh Darat telah wafat, namun tafsirnya menyentuh dua zaman:

  • Zaman Kartini, yang tercerahkan oleh makna Al-Fatihah.

  • Zaman kita hari ini, yang masih butuh pendekatan dakwah yang dekat dengan bahasa umat.

“Cahaya wahyu bukan untuk disimpan di langit, tapi diturunkan agar semua manusia bisa melihat jalan pulang.”
— Semangat Kiai Sholeh Darat

Sumber: AI dengan prompt “kyai Sholeh Darat dalam perlawanan kolonialisme Belanda“

0
Subscribe to my newsletter

Read articles from Ariska Hidayat directly inside your inbox. Subscribe to the newsletter, and don't miss out.

Written by

Ariska Hidayat
Ariska Hidayat

I am an enthusiastic researcher and developer with a passion for using technology to innovate in business and education.