"InsyaAllah" Bukan Alasan Ingkar Janji: Mengembalikan Makna Suci di Balik Ucapan


"Dan penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawaban."
(QS. Al-Isra’: 34)
Di tengah budaya Muslim modern, kata "InsyaAllah" telah menjadi frasa yang sangat umum. Saking seringnya digunakan, kadang justru kehilangan makna. Ironisnya, banyak orang mengucapkannya bukan untuk menunjukkan keimanan dan tawakal, tapi sebagai bentuk pelarian dari tanggung jawab.
🔹 Janji dalam Islam: Amanah, Bukan Formalitas
Janji dalam Islam adalah bagian dari amanah yang besar. Ia bukan sekadar ucapan basa-basi, tapi sesuatu yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Rasulullah ﷺ bahkan menyebut menepati janji sebagai ciri orang beriman, dan ingkar janji sebagai ciri munafik.
"Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berkata, ia berdusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanah, ia khianati."
(HR. Nasa’i)
Artinya, ketika seseorang berkata, “Saya akan datang jam 3, InsyaAllah,” ia seharusnya berniat sungguh-sungguh menepatinya, bukan menjadikannya alasan untuk kabur atau sekadar menyenangkan hati orang.
🔹 Makna Asli "InsyaAllah": Tawakal, Bukan Alibi
"InsyaAllah" berarti “jika Allah menghendaki.” Ungkapan ini mengandung tiga makna utama:
Pengakuan bahwa masa depan ada dalam kuasa Allah.
Penegasan bahwa kita akan berusaha keras menepatinya.
Doa agar Allah memudahkan dan meridhoi usaha kita.
Perintah ini tercermin dalam kisah Nabi Muhammad ﷺ yang ditegur oleh Allah ketika lupa mengucapkan “InsyaAllah” saat menjanjikan jawaban:
"Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, 'Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok,' kecuali dengan mengatakan: 'InsyaAllah'..."
(QS. Al-Kahfi: 23–24)
Namun ayat ini bukan pembenaran untuk lari dari komitmen, melainkan perlindungan jika terjadi hal-hal di luar kemampuan kita.
🔥 Ketika "InsyaAllah" Disalahgunakan
Di banyak lingkungan, "InsyaAllah" menjadi sindiran pahit. Bahkan ada yang berkata, “Kalau sudah dibilang InsyaAllah, berarti kemungkinan besar tidak jadi.”
Penyebabnya? Karena terlalu sering:
Diucapkan tanpa niat menepati.
Dijadikan alasan untuk berkata “ya” meski tidak berniat hadir.
Menjadi cara halus untuk menolak tanpa menolak.
Ini tidak hanya mencederai makna "InsyaAllah", tapi juga membawa dosa: dusta atas nama Allah.
🧠 Bagaimana Bersikap Bijak?
✅ Jika Yakin Bisa
Katakan “Saya akan datang jam 10, InsyaAllah.”
→ Tunjukkan komitmen, dan berdoalah agar Allah memudahkan.
❓ Jika Tidak Yakin
Katakan, “Saya usahakan, tapi belum bisa janji ya.”
→ Ini jujur, dan lebih aman daripada janji kosong.
⚠️ Jika Sudah Janji Tapi Terhalang
Segera minta maaf dan jelaskan.
→ Menunda klarifikasi hanya memperburuk kepercayaan.
❌ Jika Tidak Niat dari Awal
Jangan ucapkan janji, apalagi dengan “InsyaAllah”.
→ Itu bisa menjadi bentuk kemunafikan dan penghinaan terhadap nama Allah.
🌟 Mari Kembalikan Makna "InsyaAllah"
Bayangkan jika setiap Muslim benar-benar menepati janji, dan hanya mengucapkan “InsyaAllah” dengan kesungguhan dan rasa takut kepada Allah. Masyarakat akan penuh dengan kepercayaan, kejujuran, dan tanggung jawab.
“InsyaAllah” akan kembali menjadi tanda tawakal dan iman, bukan simbol kemalasan dan ketidaktepatan.
✍️ Penutup
“InsyaAllah” bukan untuk melarikan diri, tapi untuk meneguhkan niat baik di tengah ketidakpastian hidup.
Ucapkanlah ia dengan takwa, bukan sekadar basa-basi.
Tepatilah janji seperti Rasulullah ﷺ, yang dijuluki “Al-Amin” bahkan oleh musuh-musuhnya.
Semoga Allah menjadikan kita hamba yang jujur dalam lisan, hati, dan perbuatan. Aamiin.
Subscribe to my newsletter
Read articles from Ariska Hidayat directly inside your inbox. Subscribe to the newsletter, and don't miss out.
Written by

Ariska Hidayat
Ariska Hidayat
I am an enthusiastic researcher and developer with a passion for using technology to innovate in business and education.