Al-Hikmah: Harta Karun yang Hilang dari Umat Islam

Ariska HidayatAriska Hidayat
3 min read

Pendahuluan: Hikmah yang Terlupa

Dalam lautan warisan Islam yang luas, terdapat satu mutiara yang oleh sebagian ulama disebut sebagai "barang berharga yang hilang dari umat Islam" — yaitu Al-Hikmah. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Hikmah adalah barang hilang milik orang beriman. Di manapun ia menemukannya, maka ia lebih berhak terhadapnya."
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya)

Hadis ini bukan hanya mengajarkan semangat ilmu dan keterbukaan, tetapi juga menyiratkan bahwa umat Islam sebenarnya memiliki hak atas ketinggian hikmah — namun justru banyak yang kehilangannya.


Apa Itu Al-Hikmah?

Secara bahasa, hikmah berarti kebijaksanaan, ketepatan dalam perkataan dan perbuatan, serta kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dalam konteks Al-Qur’an dan Sunnah, maknanya lebih dalam:

  • Pemahaman mendalam tentang wahyu.

  • Keseimbangan antara akal, hati, dan syariat.

  • Ketajaman dalam mengambil keputusan dan menuntun umat.

  • Menghubungkan ilmu dunia dan akhirat.

Allah berfirman:

"Allah memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak."
(QS. Al-Baqarah: 269)


Mengapa Al-Hikmah Hilang dari Umat?

Dalam sejarah peradaban Islam, kita pernah menjadi umat yang memimpin dunia karena memiliki keseimbangan antara:

  • Wahyu (iman dan syariat),

  • Akal (ilmu dan teknologi),

  • Hati (akhlaq dan tazkiyah).

Namun, ketika hikmah mulai ditinggalkan dan digantikan oleh:

  • Fanatisme buta,

  • Pola pikir kaku dan sempit,

  • Kejar dunia tanpa panduan wahyu,

  • Perpecahan mazhab dan politik,

Maka cahaya hikmah mulai redup. Kita melihat ilmu dipelajari tanpa ruh, teknologi tanpa adab, dan agama dipraktikkan tanpa pemahaman yang menyentuh hati.


Dimana Kita Kehilangan Hikmah?

  1. Dalam Pendidikan:
    Sekolah menjadi tempat mengejar nilai, bukan makna. Santri dan siswa diajari menghafal, tapi tak diajari bertanya dan memahami.

  2. Dalam Dakwah:
    Banyak yang menyampaikan kebenaran tanpa hikmah, menasihati tanpa cinta, mengkritik tanpa solusi.

  3. Dalam Kepemimpinan:
    Pemimpin lupa bahwa kekuasaan bukan alat menekan, tetapi amanah untuk memuliakan dan membimbing dengan bijaksana.

  4. Dalam Hidup Sehari-hari:
    Umat Islam kehilangan seni tadabbur, tafakkur, dan tazkiyah, padahal inilah pilar kehidupan ruhani yang melahirkan hikmah.


Bagaimana Menemukan Kembali Al-Hikmah?

  1. Kembali kepada Al-Qur’an dengan Tadabbur
    Bukan sekadar membaca, tapi merenungi. Karena Al-Qur’an adalah sumber hikmah paling agung. Allah menyebutnya:

    "Ini adalah ayat-ayat Al-Kitab yang penuh hikmah." (QS. Luqman: 2)

  2. Menghidupkan Ilmu yang Terpadu
    Belajar sains, filsafat, teknologi, dan akhlak secara terpadu dengan cahaya tauhid.

  3. Menghidupkan Majelis Hikmah
    Bukan hanya pengajian teks, tapi dialog lintas ilmu, diskusi ruhani, mentoring, dan muhasabah bersama.

  4. Mengasah Akal, Menyucikan Hati
    Hikmah muncul dari kejernihan berpikir dan kejernihan jiwa. Maka dzikir dan fikir harus berjalan seiring.

  5. Meneladani Para Ahli Hikmah
    Seperti Luqman, para nabi, para ulama rabbani, dan ilmuwan muslim dahulu (Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd) yang memadukan syariat, akal, dan akhlak.


Penutup: Saatnya Bangkit dengan Hikmah

Jika umat Islam ingin kembali memimpin peradaban, bukan sekadar dengan kuantitas atau kekayaan, tapi dengan hikmah. Inilah puncak keunggulan: memahami realitas, menyinari hati, dan menuntun umat dengan kebijaksanaan yang memuliakan manusia.

Al-Hikmah bukan sekadar ilmu. Ia adalah ruh yang menyambungkan langit dan bumi.

Sudah saatnya kita mencarinya kembali — di hati yang jernih, di Al-Qur’an yang terbuka, di ilmu yang mendalam, dan di amal yang ikhlas.


"Jadilah pemburu hikmah. Karena di sanalah engkau akan menemukan kejayaan yang tak bisa dicuri siapa pun."


Catatan Sumber: Artikel ini merupakan hasil pengembangan ide melalui proses tafakkur (perenungan) yang kemudian dikembangkan secara teknis oleh kecerdasan buatan (AI). Perlu dicatat bahwa:

  1. Sumber AI: Konten ini tidak memiliki sanad keilmuan (mata rantai otoritas keilmuan) yang tersambung kepada ulama atau pakar agama, karena sepenuhnya dihasilkan oleh algoritma AI berdasarkan data yang tersedia.

  2. Referensi Dalil:

  3. Disclaimer Keilmuan: Pembaca disarankan untuk melakukan verifikasi silang (tabayyun) dengan sumber primer (Al-Qur’an, hadis sahih, dan kitab ulama yang diakui) atau konsultasi langsung dengan ahli agama. AI tidak menggantikan otoritas keilmuan Islam yang bersanad.

"Artikel ini bersifat informatif awal, bukan fatwa atau kajian ilmiah yang komprehensif."

0
Subscribe to my newsletter

Read articles from Ariska Hidayat directly inside your inbox. Subscribe to the newsletter, and don't miss out.

Written by

Ariska Hidayat
Ariska Hidayat

I am an enthusiastic researcher and developer with a passion for using technology to innovate in business and education.